Menurut Boedi Harsono, Program landreform di Indonesia meliputi :
1. Pembatasan luas maksimum penguasaan
tanah.
2.
Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut ‘absentee’
atau ‘guntai’.
3.
Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang
terkena larangan ‘absentee’, tanah-tanah bekas Swapraja dan
tanah-tanah negara.
4.
Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan.
5. Pengaturan kembali perjanjian bagi
hasil tanah pertanian.
6.
Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Adapun larangan pemilikan tanah secara absentee berpangkal pada dasar hukum yang
terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu sebagai berikut :
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak
atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.
Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP
No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan sebagai berikut :
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar
Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan
hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau
pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.
Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964
menentukan :
“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru
atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan
memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”.
Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan
ketentuan dari absentee,
antara lain :
1.
Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif.
2.
Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak
tanahnya.
3.
Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak
tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak
tanah tersebut.
4.
Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang
atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan
tempat letak tanahnya.
5.
Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian
Pengecualian terhadap ketentuan penguasaan dan pemilikan
tanah secara absentee,
bahwa “Pemilik tanah yang bertempat tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan tempat letak
tanahnya, asalkan masih memungkinkan tanah pertanian itu dikerjakan secara
efisien” (vide Pasal 3
ayat (2) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964).
Kemudian masih dalam Pasal 3 ayat (2) tersebut, penilaian
tentang apa yang dimaksud “mengerjakan tanah itu secara effisien”,
pertimbangannya dipercayakan kepada Panitya Landreform Daerah Tingkat II. Jadi
sah-sah saja jika misalnya Panitya Landreform Daerah Tingkat II menetapkan
bahwa perkecualian Kecamatan yang berbatasan itu ditetapkan dalam radius 10 km.
Namun yang perlu dipertanyakan, apakah radius tersebut effektif diterapkan dalam
era sekarang, mengingat saat ini transportasi sudah sangat mudah. Kita harus
melihat ke belakang saat Peraturan tersebut diterbitkan, yaitu pada era dimana
transportasi masih sulit. Maka di sini, perlu kebijaksanaan yang matang dari
Panitya Landreform Daerah Tingkat II untuk menetapkan batas-batas ke-effisienan
tersebut. Jangan asal ngomong…
Sehingga Notaris/PPAT mempunyai patokan (dasar) untuk
membuat Akta Jual Beli jika objeknya tanah sawah tetapi calon pembeli bertempat
tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan letak objek, dan tidak
mengalami kendala jika diproses balik nama di Kantor Pertanahan setempat.
Mengenai pengertian bahwa pemilik atau calon pemilik
bertempat tinggal atau pindah di Kecamatan tempat letak tanah dimaksud, telah
ditegaskan oleh Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. III Tahun 1963
tentang Pencegahan Usaha-Usaha Untuk Menghindari Pasal 3 PP No. 224/1961, yaitu
sebagai berikut :
“Pindah ke Kecamatan letak tanah” sebagai dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) PP No. 224 Tahun 1961 haruslah diartikan bahwa mereka yang
pindah ke tempat letak tanah benar-benar berumah tangga dan menjalankan
kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari di tempat
yang baru, sehingga memungkinkan penggarapan tanah secara efisien”.
Mengamati Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria tersebut,
maka secara nyata yang bersangkutan pindah ke tempat letak tanah dimaksud,
berumah tangga, dan menjalankan kegiatan hidup bermasyarakat, bukan sekedar
pernyataan KTP. Maka kepada PPAT perlu memperhatikan Pasal 39 ayat (1) huruf g
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi :
“PPAT menolak untuk membuat akta, jika : tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
Sanksi bila PPAT mengabaikan ketentuan dimaksud terdapat
dalam Pasal 62 PP 24/1997 tersebut.
Sementara di dalam UUJN tidak ditentukan secara eksplisit
seperti pada PP 24/1997. Bahkan dalam Pasal 17 UUJN tentang larangan pun tidak
ada ketentuan tersebut. Namun secara implisit ketentuan itu terdapat dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf d, yaitu :
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban :
memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya”.
Sementara di dalam Penjelasannya dikatakan: “Yang dimaksud
dengan “alasan untuk menolaknya” adalah alasan yang mengakibatkan Notaris tidak
berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris sendiri
atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan
bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal
lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang”.
Yang dimaksud dengan “hal lain yang tidak dibolehkan oleh
undang-undang” tentunya tidak terbatas pada UUJN, tetapi pengertiannya luas, termasuk
larangan tentang kepemilikan tanah secara absentee sebagaimana diuraikan di atas.
Kalau tidak, maka Notaris yang bersangkutan melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan. Jadi, tidak dapat dibenarkan bila ada Perjanjian Ikatan
Jual Beli yang objeknya adalah tanah pertanian (sawah) tetapi pembelinya
berkedudukan absentee.
Perjanjian Ikatan Jual beli sekalipun merupakan perjanjian permulaan, tetapi
pada hakikatnya adalah jual-beli. Tidak ada satu pasal pun dalam peraturan
perundang-undangan yang mengecualikan diperbolehkan dibuat Perjanjian
Ikatan Jual Beli terhadap kepemilikan tanah absentee.
Dibuat Perjanjian Ikatan Jual beli karena ada beberapa syarat yang belum bisa
dipenuhi, tetapi bukan berarti belum dipenuhinya syarat itu (misalnya status objek
masih berupa tanah sawah) maka dibuat perjanjian yang isinya justru melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan (larangan pemilikan tanah absentee). Hal ini akan
menjadi problem di kemudian hari apabila si Pembeli hendak menindaklanjuti
dengan pembuatan Akta Jual Beli. Sesuai dengan amanat Pasal 15 ayat (2) huruf e
UUJN, seharusnya Notaris menjelaskan (memberikan penyuluhan hukum) kepada para
pihak tentang larangan tersebut.
Ada dua cara untuk mengatasi masalah kepemilikan tanah
secara absentee bagi calon pembeli, yaitu:
1.
Pemohon (calon penerima hak) bertempat tinggal secara nyata di Kecamatan tempat
letak objek (lihat uraian di atas).
2.
Status tanah sawah (pertanian) tersebut diubah dahulu menjadi tanah pekarangan.
Hal ini biasa dikenal dengan Ijin Pengeringan.
Apabila tanah sawah yang dimaksud sudah tidak produktif,
maka tidak ada masalah jika diberikan Ijin Pengeringan. Namun apabila ternyata
tanah pertanian (tanah sawah) itu masih produktif tetapi dapat diberikan Ijin
Pengeringan, maka program landreform–
untuk kesekian kalinya akan kandas di tengah jalan. Padahal Bung Karno dalam
Pidato JAREK (Jalannya Revolusi Kita, yaitu Pidato Presiden tanggal 17 Agustus
1960), menyatakan bahwa : “Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa
alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa
isi…. Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan
Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan Landreform adalah gembar-gembornya tukang penjual
obat di pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen”.