Jumat, 23 November 2012

Struktur Agraria Dan Posisi Petani



A.Masa Kerajaan
                Struktur agraria dapat diartikan sebagai sebaran ata distribusi pemilikan (penguasaan) formal dan penguasaan efeksi(garapan / operasional) serta alokasi pembentukan sumber-sumber agrarian. Dalam arti yang lebih sempit yaitu tanah dan semua aspek yang terkandung didalamnya. Defenisi itu menunjukkan  adanya tiga aspek penting dalam struktur agraria. Pertama pemiikan, kedua penguasaan dan ketiga peruntukan atau penguasaan sumber agraria oleh subjek agraria yang meliputi pemerintah sebagai pemegang kekuasaan formal petani, dan pengusaha.
                Struktur agraria yang bercorak feudalistis ditandai dengan dominasi dari unsure penguasa tanah, raja atau tuan tanah terhadap sumber-sumber agraria serta pola yang mengikutinya. Dalam struktur agraria kapitalis dominasi atas sumber-sumber agraria dan pola-pola yang menyertainya dipegang oleh pihak pemilik capital/modal atau swasta. Dalam struktur agraria yang bercorak populis, penguasaan sumber-sumber agraria dan pola hubungan yang terbangun di antara subjek agraria kebanyakan mengacu pada masyarakat sebagai komunitas rumah tangga petani penggarap.
                Dari kajian historis dapat diketahui bahwa pada masa prakolonial/kerajaan, struktur agraria yang bercorak feudalistis yang tergambar dari hak politik atas tanah yang dipegang mutlak oleh raja. Kemutlakan kekuasaan yang dipegang oleh raja atas tanah hanya merukan penguasaan scara politis yang ada kaitannya dengan hak politik raja untuk menegakkan, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan serta mengatur hasil tanah sesuai dengan adat pada yuridiksi teritorialnya.
                Sistem bagi hasil maro di zaman kerajaan tersebut sepintas telah menunjukkan keadilan di dua subjek agraria yang tersebut diatas, yaitu raja/penguasa dan petani. Bagian yang didapatkan penguasa itu hanya berdasar pada pandangan bahwa ia memiliki hak politis atas tanah. Ketidakadilan itu tampak semakin jelas, karena dalam hubungannya dengan hak untuk menggarap tanah petani. Hasil penggarapan petani lebih banyak didapatkan oleh penguasa seperti raja dan keluarganya, bangsawan lain dibawahnya, sebaliknya hasil kebawah yang didapat oleh petani hanyalah sedikit.
                Jelas, dalam sistem bagi hasil ini yang diuntungkan hanyalah raja / penguasa. kehidupan penguasa penuh dengan kemakmuran, sedangkan petani berkutat dengan kemiskinan dan penderitaan. Dapat dilihat dari kondisi tersebut bahwa hubungan antara penguasa dan petani sebagai produk sistem bagi hasil tanah menurut adat menunjukan adanya struktur agrarian feudalistis yang secara ekonomis tidak adil.
                Dalam tradisi melayu ,Sultan selain sebagai pemimpin kerajaan dan agama juga sebagai pemimpin adat.Hampir sama dengan  di Jawa , Kekuasaan Sultan di Sumatra juga dapat dikatakan mutlak atau tidak terbatas.
                Sultan memiliki kekuasaan atas sumber daya ,ekonomi , sosial , budaya. Hal yang agak berbeda dari penguasa di Jawa adalah meskipun Sulta memungut pajak tanah dari  penduduk,namun pajak tanah bukanmerupaka sumber ekonomi terpenting bagi perekonomian di Sumatra.
                Di Jawa , ditetapkan sistem maro yang khusus untuk tanamanpadi juga muncul bagi hasil tanah dengan sistem mertelu, merapat, dan aralima. Sistem marapat dan maralimadikenakan pada hasil tanah tanah pegunungan yang memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi lagi dalam proses penggarapannya.
                Namun dalam praktek, hasil yang diperoleh petani pada umumn ya tidak paralel dengan curahan tenaga rumah tangga yang telah diberikan oleh rumah tangga petani. Ada kecendrungan bahwwa sistem bagi hasil tanah dengan skala yang bagaimanapun tetap saja merupakan beban bagi petani. Sistem bagi hasil turut member kontribusi bgi terciptanya suatu kondisi yag dapat memperparah kemiskinan para petani.
                Lungguh , Lungguh tidak pernah disebut menurut luasnya dalam hektar atau are, melainkan menurut jumlah cacah atau penduduknya. Dengan demikian , dalam pandagan pejabat kerajaan /bangsawan dan penguasa local lain. Hubungan antara pejabat kerajaan atau penguasa lokal dengan petani membentuk pola relasi yang memposisikan petani pada pihak yang dikorbankan. Dalam sistem itu apabila raja memerlukan sejumlah pejabat baru maka perlu disediakan petani petani penggarap baru, ada kecendrungan bahwa pejabat yang baru akan membawa da menempatkan pengikut-pengikutnya di atas pejabat yang digantikannya.
                Dalam struktur agraria yang bercorak feudalistis, khususnya di keajaan agraris, posisi petani sangat marjinal jika dibandingkan dengansubjek agrarian lainnya,yakni raja beserta jaringan kekuasaan biokrasi di bawahnya.
Petani hanya tenaga kerja atau buruh yang memiliki sumberdaya yang menempati posisi strategis untuk mendukung penyelenggaraan dan kelangsungan kekuasaan.Apabila di cermati hasil tanah dan kerja wajib,penguasa melakukan eksploitasi terhadap tenaga kerja petani.Kerja wajib yang merupakan konsekuensi dari pemberian tanah garapan secara tradisionla dapat dibedakan menjadi dua jenis.Pertama , Kerja wajib yang dilakukan untuk kepentingan desa. Kedua, Kerja wajib berupa pemberian layanan pribadi keoada penguasa.
                Dalam bahasa Jawa, petani disebut dengan istilah kuli, yang berarti penjual jasa tenaga kerja.Berdasarkan penguasaan atas tanah, petani di Jawa dapat di bedakan kedalam empat golongan :
1.       Kuli Kenceng atau kuli ngarep , kuli kawat , kuli gogol dan kuli singkep
2.       Kuli Kendo atau Kuli Mburi dan Kuli setengah kenceng
3.       Tumpang, Indung , atau pondok karang
4.       Tumpang tlosor atau pondok Tlosor

Pada masa kolenial muncul kecendrungan bahwa pola pola hubungan tradisional yang telah terbangun diantara subjek subjek agrarian, yaitu antara raja, sultan, dan pemegang kekuasaan birokrasi di bawah nya dengan petani, telah dimanfaatkan, dimodifikasi, dan di kemnbangkan utuk mendukung keberhasilan penerapan berbagai sistim kolenial. Sistim bagi hasil tanah, pajak, cukai, dan kerja wajib di kemas menjadi alat yang efektif dan efesien untuk mendapatkan keuntungan financial bagi kemakmuran dan kesejahteraan kolonial.
                Kekuasaan ekonomi barat yang diawali dari voc manfaatkan aspek aspek produktif pribumi melalui pelanggengan  struktur agreria feudalistas untuk mendukung kepentingan ekonomi mereka.
                Voc juga yang mulai melakukan moneterisasi hasil bumi menjadi pajak tahunan (pajeg) yang dikenakan pada se bidang tanah. Penarikan pajak tahunan itu dilakukan oleh penguasa pribumi sebagai bagian dari kekuasaan voc. Dari sinilah awal terjadinya pengintegrasian penguasa pribumi kedalam sistim kapitalis colonial, yang dalam praktik semakin menekan dan memarjinalisasi.
                Pada masa reffles sewa tanah dijadikan pendapatan utama pemerintah karenanya kemudian dibuat ketentuan yang menepatkan sewa tanah dalam herki social ekonomi yang mengharuskan pemilik tanah menanggung pembayaran sewa.
                Kepala kepala supradesa , kepala supradesa adalah , pihak yang membayar sewa tanah ,karena mereka adalah pemilik tanah. Ketentuan itu kemudian diubah, bahwa yang harus membayar sewa tanah adalah desa, khususnya kepala desa,karena merekalah yang secara langsung menguasai tanah.
Dalam sejarah Indonesia, desa dan kepala desa harus menanggung beban adm nistratif pemerintah supradesa.
                Semula ditetapkan bahwa besaran sewa tanah adalah 2/5 dari produksi kotor  padi setiap tahun. Namun demikian, denga mempertimbangkan bahwa hasil yang didapat dari setiap jenis/kategori taah ternyata tidak sama,akhirnya diputuskan bahwa besaran sewa tanah didasarkan pada kualitas tanah sebagai alat produksi utama. Mereka yang menggarap tanah kualitas menengah harus membayar sewa 2/5 dari hasil produksi, mereka yang menggarap tanah dalam kualitas rendah harus membayar sewa 1/3dari hasil produksi tanahnya.
                Sistem sewa tanah yang dibangun dan dikembangkan oleh Raffles dapat dikatakan kurang berhasil.Pertama, terdapat kekuranglengkapan administrasi untuk mendukung implementasi ketentuan sewa tanah, Kedua ,para pejabat pemerintah Inggris juga melakukan korupsi melalui penggelapan uang, Ketiga ,Karena mendapat kebebasan untuk menanam jenis tanaman sesuai dengan yang mereka inginkan.
                Ketika pemerintah kolonial Belanda dihadapkan pada kesulitan financial yang  di daerah kolonialnya di Indonesia diidntroduksi sistem tanam paksa. Sistem diintroduksi pulau Jawa Barat dan diharapkan dapat mendatangkan keuntungan financial sebesar-besarnya dalam waktu yang relative singkat. Hal itu dimaksud untuk menutup defisit keuangan negeri Belanda yang sangat kritis.
                Oomgard melukiskan Jawa pada waktu itu sebagai suatu daerah yang secara ekonomis jauh lebih dinamis. Ia menolak gambaran yang disajikan para peniliti lain mengenai ekonomi Jawa bahwa pada saat itu Jawa dipenuhi malapetaka yang disebabkan oleh penerapan sistem tanam paksa.Apabila dicermati, introduksi sistem tanam paksa pada dasarnya merupakan upaya untuk menghidupkan kembali sistem eksploitasi masa VOC dan Raffles ditekankan pada sistem Laveransi.
                Tiga jenis pengerahan tenaga kerja wajib yang harus dilakukan petani selama periode sistem tanam paksa,
1.       Kerja wajib umum
2.       Kerja wajib Pancen
3.       Kerja wajib penanaman
Kerja wajib tersebut secara formal diatur dalam Staatsblad th 1834 No. 22 tentang pengerahan tenaga penduduk secara paksa untuk perkebunan.
                Jan Breman mempunyai pandangan yang agak lain tentang pengerahan tenaga kerja wajib selama periode Tanam paksa.Menurutnya , selama periode tersebut memang telah terjadi mobilisasi tenaga kerja wajib untuk keberhasilan sistem itu dengan memanfaatkan sistem kerja wajib dan birokrasi tradisional yang  telah ada.Meskipun demikian ,merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa melalui ketiga kerja wajib yang dapat dibebankan kepada petani untuk menopang keberhasilan sistem tanam paksa telah terjadi eksploitasi tenaga kerja petai secara berlebihan.
                Sebagai UU Pokok Agraria Th 1870
1.       Tanah milik raktyat tidak dapat dijual belikanbelikan kepada pendduduk nonpribumi
2.       Tanah domain sampai seluas 10 bau dapat dibeli oleh penduduk nonpribumi untuk bangunan perusahaan
3.       Penduduk non pribumi berkesempatan mendapatkan hak guna pada tanah domain yang lebih luas, yaitu hak untk membangun (recht van postal) dan hak untuk menyewa dan mewariskan (erfpacht) selama jangka waktu 75 tahun.
                Sejalan dengan peralihan hak atas tanah dari tanah-tanah adat menjadi tanah Negara, dan sejalan dengan jiwa dan semangat liberalisme, pemerintah colonial Belanda secara leluasa memberikan tanah-tanah itu kepada para pengusaha. Tindakan Sultan untuk memberikan konsesi tanah kepada pengusaha Eropa didasarkan pada pertimbangan politis, pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan akan memperkuat posisi Sultan, karena Sultan mendapat dukungan politik dari penguasa dan pengusaha Eropa di Sumatera Timur dan secara ekonomis beliau mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
                Konsesi tanah yang diberikan Sultan kepada pengusah Eropa menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria di Sumatera Timur. Perubahan struktur agraria sebagai akibat masuknya pengusaha perkebunan Eropa ke Sumatera Timur menyebabkan terjadinya perubahan status social petani dari pemilik tanah menjadi penggarap/tenaga kerja dan buruh. Penerapan Agrarische Wet berdampak pada perubahan sisitem pengolahan tanah dalam 7 dasawarsa sejak Sumatera Timur dibuka Belanda di Indonesia.
               

C. Masa Republik Indonesia
                Proklamasi kemerdekaan RI menandai kelahiran Indonesia sebagai Negara yang bebas dari penjajahan, sehingga Negara RI mempunyai komitmen yang kuat untuk membangun dan mengembangkan, hal ini tercermindari kebijakan politik agraria yang diterapkan yaitu redistribusi tanah-tanah perusahaan asing yang kepada masyrakat pedesaan yang tidak bertanah.
                Pada 1960-an pada hakekatnya mempunyai sasaran utama untuk merombak struktur agraria yang bercorak feudalistis-kapitalistis menjadi struktur agraria yang bercorak populis.
Mengenai kebijakan redistribusi tanah pada petani, meskipun sejak awal kemerdekaan hingga 1998 dengan dinamika yang sangat fluktuatif telah berlangsung, tapi hasilnya tetap belum signifikan untuk merubah struktur agrarian di Idonesia. Kebijakan-kebijakan politik agraria pemerintah Indonesia sepanjang kekuasaan Orba bertolak belakang dengan apa yang telah dirintis dan diperjuangkan oleh para pendiri negeri ini untuk membangun struktur agrarian yang populis.
                Modernisasi sebagai paradigm pmbangunan ekonomi yang menjadi panglima dalam rezim Orba pada hakikatnya lebih didasarkan pada kepentingan untuk melegitimasi dan memperkokoh kekuasaan politik rezim itu dibandingkan denagn tekad dan ambisinya untuk mewujudkan kesejahterhan rakyat banyak.
Berbagai kebijakan agraria pemerintah Orba telah mendorong penguasaan tanah dalam skala besar oleh perusahaan-perusahaan swasta.
                Kondisi tentang penguasaan tanah tidak terlepas dari karakteristik dasar pembangunan kapitalis, yang secara esensial barwatak ekspensif dan eksploitatif. Dalam praktik, kebijakan agraria yang bercorak kapitalis mendorong terjadinya pengambil alihan dan sentralisasi penguasaan sumber agrarian oleh pemerintah dan pengusaha. Program revolusi hijau,misalnya secara structural semakin mengukuhkan dominasi kekuatan kapitalis dan member kontribusi signifikan terhadap terjadinya diferensiasi social dan polarisasi penguasaan tanah.

Artikel Terkait



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More