A.Masa
Kerajaan
Struktur
agraria dapat diartikan sebagai sebaran ata distribusi pemilikan (penguasaan)
formal dan penguasaan efeksi(garapan / operasional) serta alokasi pembentukan
sumber-sumber agrarian. Dalam arti yang lebih sempit yaitu tanah dan semua
aspek yang terkandung didalamnya. Defenisi itu menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam struktur
agraria. Pertama pemiikan, kedua penguasaan dan ketiga peruntukan atau penguasaan sumber
agraria oleh subjek agraria yang meliputi pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
formal petani, dan pengusaha.
Struktur
agraria yang bercorak feudalistis ditandai dengan dominasi dari unsure penguasa
tanah, raja atau tuan tanah terhadap sumber-sumber agraria serta pola yang
mengikutinya. Dalam struktur agraria kapitalis dominasi atas sumber-sumber
agraria dan pola-pola yang menyertainya dipegang oleh pihak pemilik
capital/modal atau swasta. Dalam struktur agraria yang bercorak populis,
penguasaan sumber-sumber agraria dan pola hubungan yang terbangun di antara
subjek agraria kebanyakan mengacu pada masyarakat sebagai komunitas rumah
tangga petani penggarap.
Dari
kajian historis dapat diketahui bahwa pada masa prakolonial/kerajaan, struktur
agraria yang bercorak feudalistis yang tergambar dari hak politik atas tanah
yang dipegang mutlak oleh raja. Kemutlakan kekuasaan yang dipegang oleh raja
atas tanah hanya merukan penguasaan scara politis yang ada kaitannya dengan hak
politik raja untuk menegakkan, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan serta
mengatur hasil tanah sesuai dengan adat pada yuridiksi teritorialnya.
Sistem
bagi hasil maro di zaman kerajaan
tersebut sepintas telah menunjukkan keadilan di dua subjek agraria yang
tersebut diatas, yaitu raja/penguasa dan petani. Bagian yang didapatkan
penguasa itu hanya berdasar pada pandangan bahwa ia memiliki hak politis atas
tanah. Ketidakadilan itu tampak semakin jelas, karena dalam hubungannya dengan
hak untuk menggarap tanah petani. Hasil penggarapan petani lebih banyak
didapatkan oleh penguasa seperti raja dan keluarganya, bangsawan lain
dibawahnya, sebaliknya hasil kebawah yang didapat oleh petani hanyalah sedikit.
Jelas,
dalam sistem bagi hasil ini yang diuntungkan hanyalah raja / penguasa.
kehidupan penguasa penuh dengan kemakmuran, sedangkan petani berkutat dengan
kemiskinan dan penderitaan. Dapat dilihat dari kondisi tersebut bahwa hubungan
antara penguasa dan petani sebagai produk sistem bagi hasil tanah menurut adat
menunjukan adanya struktur agrarian feudalistis yang secara ekonomis tidak
adil.
Dalam
tradisi melayu ,Sultan selain sebagai pemimpin kerajaan dan agama juga sebagai
pemimpin adat.Hampir sama dengan di Jawa
, Kekuasaan Sultan di Sumatra juga dapat dikatakan mutlak atau tidak terbatas.
Sultan
memiliki kekuasaan atas sumber daya ,ekonomi , sosial , budaya. Hal yang agak
berbeda dari penguasa di Jawa adalah meskipun Sulta memungut pajak tanah
dari penduduk,namun pajak tanah
bukanmerupaka sumber ekonomi terpenting bagi perekonomian di Sumatra.
Di
Jawa , ditetapkan sistem maro yang khusus untuk tanamanpadi juga muncul bagi
hasil tanah dengan sistem mertelu, merapat, dan aralima. Sistem marapat dan
maralimadikenakan pada hasil tanah tanah pegunungan yang memiliki tingkat
kesulitan lebih tinggi lagi dalam proses penggarapannya.
Namun
dalam praktek, hasil yang diperoleh petani pada umumn ya tidak paralel dengan
curahan tenaga rumah tangga yang telah diberikan oleh rumah tangga petani. Ada
kecendrungan bahwwa sistem bagi hasil tanah dengan skala yang bagaimanapun
tetap saja merupakan beban bagi petani. Sistem bagi hasil turut member
kontribusi bgi terciptanya suatu kondisi yag dapat memperparah kemiskinan para
petani.
Lungguh
, Lungguh tidak pernah disebut menurut luasnya dalam hektar atau are, melainkan
menurut jumlah cacah atau penduduknya. Dengan demikian , dalam pandagan pejabat
kerajaan /bangsawan dan penguasa local lain. Hubungan antara pejabat kerajaan
atau penguasa lokal dengan petani membentuk pola relasi yang memposisikan
petani pada pihak yang dikorbankan. Dalam sistem itu apabila raja memerlukan
sejumlah pejabat baru maka perlu disediakan petani petani penggarap baru, ada
kecendrungan bahwa pejabat yang baru akan membawa da menempatkan
pengikut-pengikutnya di atas pejabat yang digantikannya.
Dalam
struktur agraria yang bercorak feudalistis, khususnya di keajaan agraris,
posisi petani sangat marjinal jika dibandingkan dengansubjek agrarian
lainnya,yakni raja beserta jaringan kekuasaan biokrasi di bawahnya.
Petani hanya tenaga kerja atau buruh yang
memiliki sumberdaya yang menempati posisi strategis untuk mendukung
penyelenggaraan dan kelangsungan kekuasaan.Apabila di cermati hasil tanah dan
kerja wajib,penguasa melakukan eksploitasi terhadap tenaga kerja petani.Kerja
wajib yang merupakan konsekuensi dari pemberian tanah garapan secara
tradisionla dapat dibedakan menjadi dua jenis.Pertama , Kerja wajib yang
dilakukan untuk kepentingan desa. Kedua, Kerja wajib berupa pemberian layanan
pribadi keoada penguasa.
Dalam
bahasa Jawa, petani disebut dengan istilah kuli, yang berarti penjual jasa
tenaga kerja.Berdasarkan penguasaan atas tanah, petani di Jawa dapat di bedakan
kedalam empat golongan :
1.
Kuli Kenceng atau kuli ngarep ,
kuli kawat , kuli gogol dan kuli singkep
2.
Kuli Kendo atau Kuli Mburi dan
Kuli setengah kenceng
3.
Tumpang, Indung , atau pondok
karang
4.
Tumpang tlosor atau pondok
Tlosor
Pada masa kolenial muncul
kecendrungan bahwa pola pola hubungan tradisional yang telah terbangun diantara
subjek subjek agrarian, yaitu antara raja, sultan, dan pemegang kekuasaan
birokrasi di bawah nya dengan petani, telah dimanfaatkan, dimodifikasi, dan di
kemnbangkan utuk mendukung keberhasilan penerapan berbagai sistim kolenial.
Sistim bagi hasil tanah, pajak, cukai, dan kerja wajib di kemas menjadi alat
yang efektif dan efesien untuk mendapatkan keuntungan financial bagi kemakmuran
dan kesejahteraan kolonial.
Kekuasaan ekonomi barat yang diawali dari voc
manfaatkan aspek aspek produktif pribumi melalui pelanggengan struktur agreria feudalistas untuk mendukung
kepentingan ekonomi mereka.
Voc juga yang mulai melakukan moneterisasi hasil bumi
menjadi pajak tahunan (pajeg) yang dikenakan pada se bidang tanah. Penarikan
pajak tahunan itu dilakukan oleh penguasa pribumi sebagai bagian dari kekuasaan
voc. Dari sinilah awal terjadinya pengintegrasian penguasa pribumi kedalam
sistim kapitalis colonial, yang dalam praktik semakin menekan dan
memarjinalisasi.
Pada masa reffles sewa tanah dijadikan pendapatan
utama pemerintah karenanya kemudian dibuat ketentuan yang menepatkan sewa tanah
dalam herki social ekonomi yang mengharuskan pemilik tanah menanggung
pembayaran sewa.
Kepala kepala supradesa , kepala supradesa adalah , pihak
yang membayar sewa tanah ,karena mereka adalah pemilik tanah. Ketentuan itu
kemudian diubah, bahwa yang harus membayar sewa tanah adalah desa, khususnya
kepala desa,karena merekalah yang secara langsung menguasai tanah.
Dalam sejarah Indonesia,
desa dan kepala desa harus menanggung beban adm nistratif pemerintah supradesa.
Semula ditetapkan bahwa besaran sewa tanah adalah 2/5
dari produksi kotor padi setiap tahun.
Namun demikian, denga mempertimbangkan bahwa hasil yang didapat dari setiap
jenis/kategori taah ternyata tidak sama,akhirnya diputuskan bahwa besaran sewa
tanah didasarkan pada kualitas tanah sebagai alat produksi utama. Mereka yang
menggarap tanah kualitas menengah harus membayar sewa 2/5 dari hasil produksi,
mereka yang menggarap tanah dalam kualitas rendah harus membayar sewa 1/3dari
hasil produksi tanahnya.
Sistem sewa tanah yang dibangun dan dikembangkan oleh
Raffles dapat dikatakan kurang berhasil.Pertama, terdapat kekuranglengkapan
administrasi untuk mendukung implementasi ketentuan sewa tanah, Kedua ,para
pejabat pemerintah Inggris juga melakukan korupsi melalui penggelapan uang,
Ketiga ,Karena mendapat kebebasan untuk menanam jenis tanaman sesuai dengan
yang mereka inginkan.
Ketika pemerintah kolonial Belanda dihadapkan pada
kesulitan financial yang di daerah
kolonialnya di Indonesia diidntroduksi sistem tanam paksa. Sistem diintroduksi
pulau Jawa Barat dan diharapkan dapat mendatangkan keuntungan financial
sebesar-besarnya dalam waktu yang relative singkat. Hal itu dimaksud untuk menutup
defisit keuangan negeri Belanda yang sangat kritis.
Oomgard melukiskan Jawa pada waktu itu sebagai suatu
daerah yang secara ekonomis jauh lebih dinamis. Ia menolak gambaran yang
disajikan para peniliti lain mengenai ekonomi Jawa bahwa pada saat itu Jawa
dipenuhi malapetaka yang disebabkan oleh penerapan sistem tanam paksa.Apabila
dicermati, introduksi sistem tanam paksa pada dasarnya merupakan upaya untuk
menghidupkan kembali sistem eksploitasi masa VOC dan Raffles ditekankan pada
sistem Laveransi.
Tiga jenis pengerahan tenaga kerja wajib yang harus
dilakukan petani selama periode sistem tanam paksa,
1.
Kerja wajib umum
2.
Kerja wajib Pancen
3.
Kerja wajib penanaman
Kerja wajib
tersebut secara formal diatur dalam Staatsblad th 1834 No. 22 tentang
pengerahan tenaga penduduk secara paksa untuk perkebunan.
Jan Breman mempunyai pandangan
yang agak lain tentang pengerahan tenaga kerja wajib selama periode Tanam
paksa.Menurutnya , selama periode tersebut memang telah terjadi mobilisasi
tenaga kerja wajib untuk keberhasilan sistem itu dengan memanfaatkan sistem
kerja wajib dan birokrasi tradisional yang
telah ada.Meskipun demikian ,merupakan fakta yang tidak dapat dibantah
bahwa melalui ketiga kerja wajib yang dapat dibebankan kepada petani untuk
menopang keberhasilan sistem tanam paksa telah terjadi eksploitasi tenaga kerja
petai secara berlebihan.
Sebagai UU Pokok Agraria Th 1870
1.
Tanah milik raktyat tidak dapat
dijual belikanbelikan kepada pendduduk nonpribumi
2.
Tanah domain sampai seluas 10
bau dapat dibeli oleh penduduk nonpribumi untuk bangunan perusahaan
3.
Penduduk non pribumi
berkesempatan mendapatkan hak guna pada tanah domain yang lebih luas, yaitu hak
untk membangun (recht van postal) dan hak untuk menyewa dan mewariskan
(erfpacht) selama jangka waktu 75 tahun.
Sejalan dengan peralihan hak
atas tanah dari tanah-tanah adat menjadi tanah Negara, dan sejalan dengan jiwa
dan semangat liberalisme, pemerintah colonial Belanda secara leluasa memberikan
tanah-tanah itu kepada para pengusaha. Tindakan Sultan untuk memberikan konsesi
tanah kepada pengusaha Eropa didasarkan pada pertimbangan politis, pemberian
konsesi kepada pengusaha perkebunan akan memperkuat posisi Sultan, karena
Sultan mendapat dukungan politik dari penguasa dan pengusaha Eropa di Sumatera
Timur dan secara ekonomis beliau mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
Konsesi tanah yang diberikan
Sultan kepada pengusah Eropa menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria
di Sumatera Timur. Perubahan struktur agraria sebagai akibat masuknya pengusaha
perkebunan Eropa ke Sumatera Timur menyebabkan terjadinya perubahan status
social petani dari pemilik tanah menjadi penggarap/tenaga kerja dan buruh.
Penerapan Agrarische Wet berdampak pada perubahan sisitem pengolahan tanah
dalam 7 dasawarsa sejak Sumatera Timur dibuka Belanda di Indonesia.
C. Masa Republik Indonesia
Proklamasi kemerdekaan RI menandai kelahiran Indonesia sebagai
Negara yang bebas dari penjajahan, sehingga Negara RI mempunyai komitmen yang
kuat untuk membangun dan mengembangkan, hal ini tercermindari kebijakan politik
agraria yang diterapkan yaitu redistribusi tanah-tanah perusahaan asing yang
kepada masyrakat pedesaan yang tidak bertanah.
Pada 1960-an pada hakekatnya
mempunyai sasaran utama untuk merombak struktur agraria yang bercorak feudalistis-kapitalistis
menjadi struktur agraria yang bercorak populis.
Mengenai kebijakan
redistribusi tanah pada petani, meskipun sejak awal kemerdekaan hingga 1998
dengan dinamika yang sangat fluktuatif telah berlangsung, tapi hasilnya tetap
belum signifikan untuk merubah struktur agrarian di Idonesia.
Kebijakan-kebijakan politik agraria pemerintah Indonesia sepanjang kekuasaan
Orba bertolak belakang dengan apa yang telah dirintis dan diperjuangkan oleh
para pendiri negeri ini untuk membangun struktur agrarian yang populis.
Modernisasi sebagai paradigm
pmbangunan ekonomi yang menjadi panglima dalam rezim Orba pada hakikatnya lebih
didasarkan pada kepentingan untuk melegitimasi dan memperkokoh kekuasaan
politik rezim itu dibandingkan denagn tekad dan ambisinya untuk mewujudkan
kesejahterhan rakyat banyak.
Berbagai kebijakan
agraria pemerintah Orba telah mendorong penguasaan tanah dalam skala besar oleh
perusahaan-perusahaan swasta.
Kondisi tentang penguasaan tanah
tidak terlepas dari karakteristik dasar pembangunan kapitalis, yang secara
esensial barwatak ekspensif dan eksploitatif. Dalam praktik, kebijakan agraria
yang bercorak kapitalis mendorong terjadinya pengambil alihan dan sentralisasi
penguasaan sumber agrarian oleh pemerintah dan pengusaha. Program revolusi
hijau,misalnya secara structural semakin mengukuhkan dominasi kekuatan
kapitalis dan member kontribusi signifikan terhadap terjadinya diferensiasi
social dan polarisasi penguasaan tanah.