Jumat, 21 Desember 2012

Alat Penangkapan Ikan Pasif



Alat penangkapan ikan pasif: adalah jenis alat penangkapan ikan yang dipasang (setting) sementara di suatu perairan dan diangkat kembali setelah selang waktu tertentu (gill net, trammel net, drift net, pancing, perangkap, dll). Alat tangkap ini bersifat menunggu ikan dan tidak terlalu banyak berinteraksi dengan ikan, jadi kerusakan ikan cenderung minim.

1. Gill Net

Gill net atau sering disebut juga sebagai “jaring insang”. Istilah gill net di dasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap “gill net” terjerat di sekitar operculumnya pada mata jaring. Dalam bahasa jepang, gill net disebut dengan istilah “sasi ami”, yang berdasarkan pemikiran bahwa tertangkapnya ikan-ikan pada gill net, ialah dengan proses bahwa ikan-ikan tersebut “menusukkan diri-sasu” pada “jaring-ami”. Di indonesia, penanaman gill net ini ber aneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring karo, jaring udang, dan sebagainya), ada pula yang disertai dengan nama tempat (jaring udang bayeman), dan sebagainya (Ayodhyoa, 1981).

Pengertian dari jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah satu jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring dari bagian utama ukurannya sama, jumlah mata jaring ke arah panjang atau ke arah horisontal (Mesh Length (ML)) jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah dalam (Mesh Dept (MD)), pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan di bagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak (Sadhori, 1985).

Warna jaring pada gill net harus disesuaikan dengan warna perairan tempat gill net dioperasikan, kadang dipergunakan bahan yang transparan seperti monofilament agar jaring tersebut tidak dapat dilihat oleh ikan bila dipasang diperairan (Sadhori, 1985).



Klasifikasi Gill Net

Menurut Sudirman, (2004) berdasarkan kontruksinya, jaring insang dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu berdasarkan jumlah lembar jaring utama dan cara pemasangan tali ris. Klasifikasi berdasarkan jumlah lembar jaring utama ialah sebagai berikut:

1. Jaring insang satu lembar (Single Gill Net)

Jaring insang satu lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari hanya satu jaaring, tinggi jaring ke arah dalam atau mesh depth dan ke arah panjang atau mesh length disesuaikan dengan target tangkapan, daerah penangkapan, dan metode pengoperasian.

2. Jaring insang double lembar (Double Gill Net atau Semi Trammel Net)

Jaring insang dua lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari dua lembar jaring, ukuran mata jaring dan tinggi jaring dari masing-masing lembar jaring, bisa sama atau berbeda antara satu dengan yang lainnya.

3. Jaring insang tiga lembar (Trammel Net)

Jaring insang tiga lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari tiga lembar jaring, yaitu dua lembar jaring bagian luar (outter net) dan satu lembar jaring bagian dalam (inner net).



Penamaan gill net berdasarkan cara operasi ataupun kedudukan jaring dalam perairan maka Ayodhyoa (1981))membedakan antara:

1. Surface Gill Net

Pada salah satu ujung jaring ataupun pada kedua ujungnya diikatkan tali jangkar, sehingga letak (posisi) jaring jadi tertentu oleh letak jangkar. Beberapa piece digabungkan menjadi satu, dan jumlah piece harus disesuaikan dengan keadaan fishing ground. Float line (tali pelampung, tali ris atas) akan berada di permukaan air (sea surface). Dengan begitu arah rentangan dengan arah arus, angin dan sebagainya akan dapat terlihat.

Gerakan turun naik dari gelombang akan menyebabkan pula gerakan turun naik dari pelampung, kemudian gerakan ini akan ditularkan ke tubuh jaring. Jika irama gerakan ini tidak seimbang, juga tension yang disebabkan float line juga besar, ditambah oleh pengaruh-pengaruh lainnya. Kemungkinan akan terjadi peristiwa the rolling up of gill net yaitu peristiwa dimana tubuh jaring tidak lagi terentang lebar, jaring tidak berfungsi lagi sebagai penghalang/penjerat ikan.

2. Bottom Gill Net

Pada kedua ujung jaring diikatkan jangkar, sehingga letak jaring akan tertentu. Hal ini sering disebut set bottom gill net. Jaring ini direntangkan dekat dengan dasar laut, sehingga dinamakan bottom gill net, berarti jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah ikan-ikan dasar (bottom fish) ataupun ikan-ikan demersal. Posisi jaring dapat diperkirakan pada float berbendera/bertanda yang diletakkan pada kedua belah pihak ujung jaring.

Pada umumnya yang menjadi fishing ground adalah daerah pantai, teluk, muara yang mengakibatkan pula jenis ikan yang tertangkap dapat berbagai jenis, misalnya hering, cod, flat fish, halbut, mackerel, yellow tail, sea bream, udang, lobster dan sebagainya.

3. Drift Gill Net

Sering juga disebut dengan drift net saja, atau ada juga yang memberi nama lebih jelas misalnya ”salmon drift gill net”, atau ”salmon drift trammel net”, dan ada pula yang menerjemahkannya ”jaring hanyut”.

Posisi jaring ini tidak ditentukan oleh adanya jangkar, tetapi bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus. Pada satu pihak dari ujung jaring diletakkan tali, dan tali ini dihubungkan dengan kapal, gerakan hanyut dari kapal sedikit banyak juga dapat mempengaruhi posisi jaring. Selain dari gaya-gaya arus, gelombang, maka kekuatan angin juga akan mempengaruhi keadaan hanyut jaring.

Drift gill net juga dapat digunakan untuk mengejar gerombolan ikan, dan merupakan alat penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas. Karena posisinya tidak ditentukan oleh jangkar, maka pengaruh dari kekuatan arus terhadap tubuh jaring dapat diabaikan. Gerakan jaring bersamaan dengan gerakan arus sehingga besarnya tahanan dari jaring terhadap arus dapat diabaikan.

Ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain saury, mackarel, flying fish, skip jack, tuna, salmon, hering, dan lain-lain.

4. Encircling Gill Net atau Surrounding Gill Net

Gerombolan ikan dilingkari dengan jaring, antara lain digunakan untuk menghadang arah lari ikan. Supaya gerombolan ikan dapat dilingkari/ditangkap dengan sempurna, maka bentuk jaring sewaktu operasi ada yang berbentuk lingkaran, setengah lingkaran, bentuk huruf V atau U, bengkok-bengkok seperti alun gerombolan dan masih banyak jenisnya lagi.

Ikan setelah terkurung dalam lingkaran jaring, dikejuti, sehingga ikan-ikan akan terjerat pada mata jaring. Tinggi jaring diusahakan sesuai dengan kedalaman perairan. Oleh sebab itu pada saat operasi keadaan pasang/surut perlulah diperhatikan. Alat tangkap ini juga banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan-ikan yang hidup di perairan karang, yaitu dengan memasang alat tangkap di sekitar atau melingkari karang.



2. BUBU

Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap “ traps “ dan penghadang “guiding barriers”. Alat ini berbentuk kurungan seperti ruangan tertutup sehingga ikan tidak dapat keluar. Bubu merupakan alat tangkap pasif, tradisional yang berupa perangkap ikan tersebut dari bubu, rotan, kawat, besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak dapat keluar. Prinsip dasar dari bubu adalah menjebak penglihatan ikan sehingga ikan tersebut terperangkap di dalamnya, alat ini sering diberi nama ftshing pots atau fishing basket.(Brandt, 1984).

Bubu adalah perangkap yang mempunyai satu atau dua pintu masuk dan dapat diangkat ke beberapa daerah penangkapan dengan mudah, dengan atau tanpa perahu (Rumajar, 2002). Menurut Martasuganda, (2005)Teknologi penangkapan menggunakan bubu banyak dilakukan di negara­negara yang menengah maupun maju. Untuk skala kecil dan menengah banyak dilakukan di perairan pantai, hampir seluruh negara yang masih belum maju perikanannya, sedangkan untuk negara dengan sistem perikanan yang maju pengoperasiannya dilakukan dilepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan-ikan dasar, kepiting, udang yang kedalamannya 20 m sampai dengan 700 m. Bubu skala kecil ditujukan untuk menagkap kepiting, udang, keong, dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam.

Subani dan Barus (1989), menyatakan bahwa Bentuk dari bubu bermacam-macam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjakan (kubus), atau segi banyak, bulat setengah lingkaran dan lain-lainnya. Secara garis besar bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel) berbentuk corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan bagaian temapat pengambilan hasil tangkapan.

Menurut Brandt (1984), mengklasifikasi bubu menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Berdasarkan sifatnya sebagai tempat bersembunyi / berlindung :

a. Perangkap menyerupai sisir (brush trap)

b. Perangkap bentuk pipa (eel tubes)

c. Perangkap cumi-cumi berbentuk pots (octoaupuspots)

2. Berdasarkan sifatnya sebagai penghalang

a. Perangkap yang terdapat dinding / bendungan

b. Perangkap dengan pagar-pagar (fences)

c. Perangkap dengan jeruji (grating)

d. Ruangan yang dapat terlihat ketika ikan masuk (watched chambers)

3. Berdasarkan sifatnya sebagai penutup mekanis bila tersentuh

a. Perangkap kotak (box trap)

b. Perangkap dengan lengkungan batang (bend rod trap)

c. Perangkap bertegangan (torsion trap)

4. Berdasarkan dari bahan pembuatnya

a. Perangkap dari bahan alam (genuine tubular traps)

b. Perangkap dari alam (smooth tubular)

c. Perangkap kerangka berduri (throrrea line trap)

5. Berdasarkan ukuran, tiga dimensi dan dilerfgkapi dengan penghalang

a. Perangkap bentuk jambangan bunga (pots)

b. Perangkap bentuk kerucut (conice)

c. Perangkap berangka besi



Klasifikasi Bubu menurut cara operasinya

Dalam operasionalnya, bubu terdiri dari tiga jenis, yaitu :

1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots).: Bubu yang daerah operasionalnya berada di dasar perairan. Untuk bubu dasar, ukuran bubu dasar bervariasi, menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan. Untuk bubu kecil, umumnya berukuran panjang 1m, lebar 50-75 cm, tinggi 25-30 cm. untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3,5 m, lebar 2 m, tinggi 75-100 cm. Hasil tangkapan dengan bubu dasar umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik, seperti Kwe (Caranx spp), Baronang (Siganus spp), Kerapu (Epinephelus spp), Kakap ( Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), Ekor kuning (Caeslo spp), Ikan Kaji (Diagramma spp), Lencam (Lethrinus spp), udang penaeld, udang barong, kepiting, rajungan, dll (Anonim. 2007).

2. Bubu Apung (Floating Fish Pots): Bubu yang dalam operasional penangkapannya diapungkan. Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bentuk bubu apung ini bisa silindris, bisa juga menyerupai kurung-kurung atau kantong yang disebut sero gantung. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu atau rakit bambu yang penggunaannya ada yang diletakkan tepat di bagian atasnya. Hasil tangkapan bubu apung adalah jenis-jenis ikan pelagik, seperti tembang, japuh, julung-julung, torani, kembung, selar, dll. Pengoperasian Bubu apung dilengkapi pelampung dari bambu atau rakit bambu, dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali disesuaikan dengan kedalaman air, umumnya 1,5 kali dari kedalaman air, (Anonim. 2007).

3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots) : Bubu yang dalam operasional penangkapannya dihanyutkan. Bubu hanyut atau “ pakaja “ termasuk bubu ukuran kecil, berbentuk silindris, panjang 0,75 m, diameter 0,4-0,5 m. Hasil tangkapan bubu hanyut adalah ikan torani, ikan terbang (flying fish). Pada waktu penangkapan, bubu hanyut diatur dalam kelompok-kelompok yang kemudian dirangkaikan dengan kelompok-kelompok berikutnya sehingga jumlahnya banyak, antara 20-30 buah, tergantung besar kecil perahu/kapal yang digunakan dalam penangkapan (Anonim. 2007).

Operasi penangkapan dilakukan sebagai berikut :

1. Pada sekeliling bubu diikatkan rumput laut.

2. Bubu disusun dalam 3 kelompok yang saling berhubungan melalui tali penonda (drifting line). Penyusunan kelompok (contohnya ada 20 buah bubu) : 10 buah diikatkan pada ujung tali penonda terakhir, kemudian kelompok berikutnya terdiri dari 8 buah dan selanjutnya 4 buah, lalu disambung dengan tali penonda yang langsung diikatkan dengan perahu penangkap dan diulur sampai ± antara 60 -150 m (Anonim. 2007).

Disamping ketiga bubu yang disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis bubu yang lain seperti :

1. Bubu Jermal : Termasuk jermal besar yang merupakan perangkap pasang surut (tidal trap).

2. Bubu Ambai.: Disebut juga ambai benar, bubu tiang, termasuk pasang surut ukuran kecil.

Bubu ambai termasuk perangkap pasang surut berukuran kecil, panjang keseluruhan antara 7-7,5 m. bahan jaring yaitu terbuat dari nilon (polyfilament). Jaring ambai terdiri dari empat bagian menurut besar kecilnya mata jaring, yaitu bagian muka, bagian tengah, bagian belakang dan bagian kantung. Mulut jaring ada yang berbentuk bulat, ada juga yang berbentuk empat persegi berukuran 2,6 x 4,7 m. pada kanan-kiri mulut terdapat gelang, terbuat dari rotan maupun besi yang jumlahnya 2-4 buah. Gelang- gelang tersebut dimasukkan dalam banyaknya jaring ambai dan dipasang melintang memotong jurusan arus. Satu deretan ambai terdiri dari 10-22 buah yang merupakan satu unit, bahkan ada yang mencapai 60-100 buah/unit. Hasil tangkapan bubu ambai bervariasi menurut besar kecilnya mata jaring yang digunakan. Namun, pada umumnya hasil tangkapannya adalah jenis-jenis udang (Subani dan Barus, 1989).

3. Bubu Apolo.:Hampir sama dengan bubu ambai, bedanya ia mempunyai 2 kantong, khusus menangkap udang rebon.

Bahan jaring dibuat dari benang nilon halus yang terdiri dari bagian mulut, bagian badan, kaki dan bagian kantung. Panjang jaring keseluruhan mencapai 11 m. Mulut jaring berbentuk empat persegi dengan lekukan bagian kiri dan kanan. Panjang badan 3,75 m, kaki 7,25 m dan lebar 0,60 m. pada ujug kaki terdapat mestak yang diikuti oleh adanya dua kantung yang panjangnya 1,60 m dan lebar 0,60 m. Hasil tangkapan bubu apolo sama dengan hasil tangkapan dengan menggunakan bubu ambai, yakni jenis-jenis udang (Subani dan Barus, 1989).

Daerah Penangkapan

1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots)

Dalam operasi penangkapan, bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau bebatuan (Anonim, 2006)

2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)

Dalam operasi penangkapan, bubu apung dihubungkan dengan tali yang disesuaikan dengan kedalaman tali, yang biasanya dipasang pada kedalaman 1,5 kali dari kedalaman air (Anonim, 2006).

3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots)

Dalam operasi penangkapan, bubu hanyut ini sesuai dengan namanya yaitu dengan menghanyutkan ke dalam air (Anonim, 2006).

4. Bubu Jermal dan Bubu Apolo

Dalam operasi penangkapan, kedua bubu di atas diletakkan pada daerah pasang surut (tidal trap). Umumnya dioperasikan di daerah perairan Sumatera (Anonim, 2006).

5. Bubu Ambai

Lokasi penangkapan dengan bubu ambai dilakukan pada jarak antara 1-2 mil dari pantai (Anonim, 2006).

3. PERAWAI DAN TUNA LONG LINE

Perawai dan tuna longline adalah suatu jenis pancing. Pancing merupakan salah satu jenis alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat, terlebih dikalangan nelayan. Pada prinsipnya pancing ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu “tali” (line) dan “mata pancing” (hook). Tali pancing biasa dibuat dari bahan benang katun, nilon, polyethilin, plastik (senar), dan lain-lain. Mata pancingnya dibuat dari kawat baja, kuningan atau bahan lain yang tahan karat. Mata pancing tersebut umumnya ujungnya berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing itu bisa tunggal maupun ganda (dua-tiga buah) bahkan banyak sekali (ratusan sampai ribuan) tergantung dari jenis pancingnya. Ukuran mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap (Subani, 1989).

Menurut Sadhori (1985), perawai merupakan salah satu alat penangkap ikan yang terdiri dari rangkaian tali-temali yang bercabang-cabang dan pada tiap-tiap ujung cabangnya dikaitkan sebuah pancing. Secara teknis operasional rawai termasuk dalam jenis perangkap, karena dalam operasionalnya tiap-tiap pancing diberi umpan yang tujuanya untuk menarik ikan sehingga ikan memakan umpan tersebut dan terkait oleh pancing. Secara material ada yang mengklasifikasikan rawai termasuk dalam golongan penangkapan ikan dengan tali line fishing karena bahan utama untuk rawai ini terdiri dari tali-temali.

Alat penangkapan ikan ini disebut rawai karena bentuk alat sewaktu dioperasikan adalah rawe-rawe (rawe = bahasa Jawa) yang berarti sesuatu yang ujungnya bergerak bebas. Rawai disebut juga dengan longline yang secara harfiah dapat diartikan dengan tali panjang. Alat ini konstruksinya berbentuk rangkaian tali-temali yang disambung-sambung sehingga merupakan tali yang panjang dengan beratus-ratus tali cabang (Sadhori, 1985).

Menurut Mulyono (1986), Perawai terdiri dari sejumlah mata kail yang di pasangkan pada panjangnya tali yang mendatar. Tali yang mendatar ini merupakan tali pokok atau utama (main line) dari suatu rangkaian pancing-pancing perawai. Pada tali utama terdapat tali-tali pendek yang disebut tali cabang (branch line). Menurut bentuk, sasaran dan cara penangkapannya perawai termasuk dalam jenis “Bottom Set Longline“. Cara penangkapannya pancing ini dilepas atau dilabuhkan sampai posisinya dapat mendasar.

Menurut Sadhori (1985), ada berbagai macam bentuk rawai yang secara keseluruhan dapat dikelompokkan dalam berbagai kelompok antara lain :

1. Berdasarkan letak pemasangannya di perairan rawai dapat dibagi menjadi :

a. Rawai permukaan (Surface longline);

b. Rawai pertengahan (Midwater longline);

c. Rawai dasar (Bottom longline).

2. Berdasarkan susunan mata pancing pada tali utama :

a. Rawai tegak (Vertikal longline);

b. Pancing ladung;

c. Rawai mendatar (Horizontal longline).

3. Berdasarkan jenis-jenis ikan yang banyak tertangkap :

a. Rawai Tuna (Tuna longline);

b. Rawai Albacore (Albacore longline);

c. Rawai Cucut (Shark longline), dan sebagainya.

d.

Perawai terdiri dari sejumlah mata kail yang di pasangkan pada panjangnya tali yang mendatar. Tali yang mendatar ini merupakan tali pokok atau utama (main line) dari suatu rangkaian pancing-pancing perawai. Tali utama terdapat tali-tali pendek yang disebut tali cabang (branch line). Menurut bentuk, sasaran dan cara penangkapannya perawai termasuk dalam jenis “Bottom Set Longline“. Cara penangkapannya pancing ini dilepas atau dilabuhkan sampai posisinya dapat mendasar (Mulyono, 1986).

Menurut Sadhori (1985), persyaratan daerah operasi perawai yaitu :

1. Pantai yang keadaannya landai;

2. Kedalamanya merata;

3. Bersih dari tonggak atau kerangka kapal yang rusak;

4. Terhindar dari kesibukan lalu-lintas.



Ada beberapa jenis alat tangkap longline. Ada yang dipasang di dasar perairan secara tetap dalam jangka waktu tertentu dikenal dengan nama rawai tetap atau bottom longline. atau set longline yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan-ikan demersal. Ada juga rawai yang hanyut yang biasa disebut dengan drift longline, biasanya untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Paling terkenal adalah tuna longline atau disebut dengan rawai tuna (Ayodhyoa,1975).

Tuna longline merupakan bagian dari rawai yang didasarkan atas jenis ikan yang ditangkap, yaitu ikan tuna. Tuna longline atau yang disebut dengan rawai tuna merupakan jenis rawai yang paling terkenal. Kenyataanya bahwa hasil tangkapannya bukan hanya ikan Tuna, tetapi juga berbagai jenis ikan lain seperti ikan Layaran, ikan Hiu dan lain-lain (Sudirman, 2004).

Pada prinsipnya ”rawai tuna” terdiri dari komponen-komponen utama yang biasanya terdiri dari : tali utama (main line), tali cabang (tali pancing, branch line) berikut bagian-bagiannya, yaitu : tali pelampung (float line) berikut pelampungnya, batu pemberat dan tali penyambungnya (Subani, 1989).

Dilihat dari segi kedalaman operasi (fishing depth) tuna longline dibagi dua yaitu :

1. Tuna longline pada perairan yang bersifat dangkal (subsurface). Pada tuna longline jenis ini dalam satu basket rawai diberi sekitar 5 pancing;

2. Tuna longline pada perairan yang bersifat dalam (Deep). Pada tuna longline jenis ini dalam satu basket rawai diberi sekitar 11 - 13 pancing sehingga lengkungan tali utama menjadi lebih dalam.

Menurut Mulyono (1986), jenis ikan yang menjadi sasaran/tujuan penangkapan adalah untuk penangkapan ikan tuna. Ikan tuna termasuk ikan pelagis-oceanis, artinya ikan pelagis lepas pantai yang bila sudah mendekati mencapai kedewasaannya menurut hasil-hasil penelitian tempat kehidupannya dari dekat permukaan berpindah ke lapisan yang lebih dalam, sehingga alat-alat penangkapan yang dioperasikan di dekat permukaan tidak akan pernah memperoleh ikan tersebut.

4. BAGAN TANCAP



Menurut Mulyono (1986), bagan merupakan salah satu jaring angkat yang dioperasikan diperairan pantai pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu sebagai faktor penarik ikan. Bagan atau ada juga yang menyebutnya dengan branjang, yaitu suatu alat tangkap yang wujudnya seperti kerangka sebuah bangun piramida tanpa sudut puncak.

Diatas bangunan bagan ini pada bagian tengah terdapat bangunan rumah kecil yang berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan, dan tempat untuk melihat dan mengawasi ikan. Di atas bangunan ini terdapat roller yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk menarik jaring.

Selama ini untuk membuat daya tarik ikan sehingga berkumpul di bawah bagan, umumnya nelayan masih menggunakan lampu petromaks yang jumlahnya bervariasi 2-5 buah. Penangkapan dengan bagan hanya dilakukan pada malam hari (Light Fishing) terutama pada hari gelap bulan dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan (Sudirman dan Achmar Mallawa, 2000).

Tertariknya ikan pada cahaya karena terjadinya peristiwa phototaxis. Antara lain hal disebutkan bahwa cahaya merangsang ikan dan menarik (attrack) ikan berkumpul pada sumber cahaya itu atau juga disebutkan karena rangsangan cahaya (stimulus), kemudian ikan memberikan responnya. Penangkapan dengan bagan menggunakan bantuan lampu dinamakan light fishing. Peristiwa phototaxis dimanfaatkan untuk menangkap ikan itu sendiri. Dapat juga dikatakan dalam light fishing, penangkapan ikan tidak seluruhnya memaksakan keinginannya secara paksa untuk menangkap ikan tetapi menyalurkan ikan sesuai dengan nalurinya untuk ditangkap.

Fungsi cahaya pada penangkapan ikan ini ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada sesuatu catchable area tertentu, lalu penangkapan dilakukan dengan jaring. Dengan alat jaring ini dapat dikatakan bahwa jaring bersifat pasif, cahaya berfungsi untuk menarik ikan ke tempat jaring. Peristiwa berkumpulnya ikan di bawah cahaya ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu peristiwa langsung dan peristiwa tidak langsung. Peristiwa langsung yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu berkumpul. Sedangkan peristiwa tidak langsung yaitu dengan adanya cahaya maka sebagai tempat plankton berkumpul lalu banyak ikan yang berkumpul untuk memakan plankton tersebut (Ayodhyoa, 1981).

Daerah penangkapan bagan atau daerah operasi untuk pemasangan bagan adalah diperairan pantai yang berairkan jernih, mempunyai kedalaman 7 – 10 meter. Jarak jauhnya dari pantai adalah 2 mil. Antara bagan yang satu dengan bagan yang lain adalah sekitar 200 – 300 meter. Dasar perairan dipilih daerah yang berlumpur campur pasir (untuk memudahkan dalam pemancangan tiang bagan (Mulyono, 1986).

Komponen bahan tancap yang biasanya tidak pernah luput dari pembuatan bagan itu sendiri adalah rumah bagan, daun bagan, penggiling, tali-tali, lampu dan serok. Rumah bagan merupakan rumah yang dibuat diatas bagan untuk tempat istirahat nelayan. Dalam rumah bagan biasanya digunakan juga sebagai tempat penyimpanan bahan bakar minyak untuk lampu petromaks (Naryo, 1985).

Menurut Subani dan Barus (1989), daun bagan terbuat dari waring plastik, berbentuk seperti kantong besar yang keempat sisinya diikatkan pada bambu. Penggilingan merupakan bambu yang digunakan untuk menarik dan menggulingkan tali jaring. Tali-tali merupakan bagian penting pada bagan untuk mrnunjang operasi penangkapan. Lampu disini digunakan sebagai perangsang atau penarik ikan saat pengoperasian. Sedangkan serok digunakan untuk mengambil hasil tangkapan saat jaring dinaikkan.

Menurut Mulyono (1986), hasil tangkapan yang umumnya tertangkap dengan alat tangkap bagan ini adalah jenis-jenis ikan pelagis yang umumya bergerak cepat dan berada di permukaan. Misalnya, ikan teri, tembang, ikan terbang, jambrung, cumi dan udang.



Menurut Sudirman dan Achmar Mallawa (2000), klasifikasi bagan ada 3, yaitu :

1. Bagan Tancap

Bagan tancap merupakan rangkaian atau susunan bambu berbentuk persegi empat yang di tancapkan sehingga berdiri kokoh di atas perairan, dimana pada tengah bangunan tersebut dipasang jaring. Dengan kata lain, alat tangkap ini bersifat inmobile. Hal ini karena alat tangkap tersebut ditancapkan pada dasar perairan, yang berarti kedalaman laut tempat beropesinya alat ini menjadi sangat terbatas yaitu pada perairan dangkal.

2. Bagan Rakit

Jenis bagan lain yang sangat sederhana dan biasa digunakan oleh nelayan khususnya di sungai atau muara-muara sungai yaitu sebagai rakit. Bagan ini terbuat dari bambu, dimana operasinya berpindah-pindah. Proses operasi penangkapannya sama dengan bagan tancap.

3. Bagan Perahu (Bagan Rambo)

Bagan ini disebut pula sebagai bagan perahu listrik. Ukurannya bervariasi tetapi di Sulawesi Selatan umumnya menggunakan jaring dengan panjang total 45 m dan lebar 45 m, berbentuk segi empat bujur sangkar dengan ukuran mata jaring 0,5 cm dan bahannya terbuat dari waring. Dalam pengoperasiannya bagan ini dilengkapi dengan perahu motor yang berfungsi untuk menggandeng bagan rambo menuju daerah penangkapan. Selain itu, bagan tersebut berfungsi sebagai pengangkut hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base.



Semoga Bermanfaat ^_^

Artikel Terkait



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More